Untukmu yang Akan Berangkat Umrah
- institutalaqsa2016
- 15 Des
- 4 menit membaca
Oleh: Faris Irfanuddin, Lc.

Sebuah refleksi yang jernih selalu dimulai dari pengenalan yang utuh. Dan mengenal Umrah Rasulullah ﷺ bukan hanya dengan menghafal kronologinya, melainkan memahami bagaimana setiap perjalanan beliau menuju Baitullah adalah bagian dari perjuangan dakwah yang memadukan antara ibadah, jihad, dan tazkiyah. Karena itu, ketika kita hendak menapaki perjalanan Umrah, penting bagi kita tidak hanya membawa koper dan kain ihram, tetapi juga membawa kesadaran sejarah: bagaimana Rasulullah ﷺ menempatkan Umrah di antara langkah-langkah kenabian beliau.
Sepanjang hidupnya setelah hijrah, Rasulullah ﷺ hanya melakukan empat kali Umrah. Semuanya terjadi di bulan Dzulqa’dah—bulan yang sunyi dari perang, bulan tenang di penghujung tahun, seolah menjadi momentum beliau melakukan riyadhah ruhiyyah setelah pergulatan panjang di medan dakwah. Pertama, Umrah Hudaibiyyah pada tahun ke-6 Hijriah; kedua, Umrah Qadha’ di tahun berikutnya; ketiga, Umrah Ji‘ranah setelah kemenangan Fathu Mekah di tahun ke-8; dan keempat, Umrah yang digandeng dengan Haji Wada‘ di tahun ke-10 Hijriah. Semua terjadi di bulan yang sama, kecuali yang terakhir —karena haji itu berlanjut ke Dzulhijjah. Inilah isyarat bahwa bagi Rasulullah ﷺ, Umrah bukan agenda rutin tahunan, melainkan perjalanan yang hadir pada momen-momen spiritual dan strategis dalam perjuangan beliau.
Ketika kita menengok Umrah pertama, Hudaibiyyah tahun 6 Hijriah, kita akan melihat bahwa perjalanan itu bukan sekadar ziarah, tetapi bagian dari strategi risalah. Beliau baru berangkat Umrah setelah menata Madinah menjadi pusat kekuatan Islam yang stabil —dari sisi keamanan, sosial, politik, hingga ekonomi. Sebelum itu, beliau telah melewati ujian besar: Badar, Uhud, hingga Ahzab. Dan ketika semua badai perjuangan itu reda, beliau menuju Makkah bukan untuk perang, tetapi untuk Umrah —sebuah perjalanan ruhaniyah setelah jihad fisik yang melelahkan. Maka Umrah Hudaibiyyah menjadi simbol keseimbangan antara perjuangan dan penyucian jiwa.
Namun Umrah itu tidak terselesaikan. Beliau tertahan di Hudaibiyyah, dicegah kaum Quraisy masuk ke Baitullah. Tetapi Allah mengganti kegagalan itu dengan perjanjian besar —Perjanjian Hudaibiyyah—yang menjadi titik balik dakwah Islam. Kaum Quraisy untuk pertama kali mengakui eksistensi Rasulullah sebagai pemimpin politik Madinah. Maka “kegagalan Umrah” itu justru menjadi awal kemenangan. Inilah pelajaran bagi kita yang akan berangkat Umrah: barangkali Allah menunda maksud kita agar menghadiahkan sesuatu yang lebih besar. Kadang, “tidak sampai ke Ka’bah” justru membuka pintu ‘Hudaibiyyah’ dalam hidup kita—tempat di mana Allah membukakan jalan baru yang tak terduga. Atau boleh jadi akan ada kejutan ‘Hudaibiyyah’ sepulang Umrah kali ini.
Lalu Umrah kedua, Umrah Qadha’ di tahun ke-7 Hijriah. Dalam sejarah, ulama berbeda pendapat apakah Umrah ini benar-benar qadha (pengganti) dari Umrah yang tertunda ataukah Umrah baru yang berdiri sendiri. Tetapi satu hal pasti, Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah dengan izzah seorang pemenang, bukan lagi tamu yang ditolak. Umrah ini menjadi bentuk peneguhan kemenangan setelah perjuangan berat di Khaibar. Maka pantas bila refleksi kita di hadapan Ka’bah nanti adalah menengok kembali “Khaibar” dalam hidup kita —apa medan perjuangan besar yang telah kita lewati sebelum sampai ke Tanah Haram? Rasulullah datang membawa kemenangan, bukan sekadar niat. Maka bawalah dalam Umrah kita bukan hanya dosa untuk dihapus, tetapi juga amal untuk disyukuri dan perjuangan untuk diserahkan kepada Allah agar dikuatkan menuju kemenangan-kemenangan di babak berikutnya.
Kemudian Umrah Ji‘ranah tahun ke-8 Hijriah. Sebuah Umrah yang lahir setelah rangkaian besar: Fathu Makkah, Hunain, Thaif, hingga Mu’tah —perang pertama yang membuka jalan menuju Syam, tempat Masjidil Aqsha berada. Inilah Umrah yang menunjukkan progres ruhani sekaligus strategi dakwah Rasulullah ﷺ. Umrah bukan sekadar pengulangan ibadah, tapi peningkatan maqam. Jika Umrah pertama berujung pada perjanjian, Umrah kedua pada peneguhan, maka Umrah ketiga ini pada perluasan. Beliau tidak lagi datang sebagai tamu, tetapi sebagai pemimpin dunia Islam. Maka bagi yang akan melaksanakan Umrah kesekian kalinya, renungkan: adakah peningkatan dari satu Umrah ke Umrah berikutnya? Adakah perjalanan ruhiyah dan amal kita mengalami “progres” sebagaimana Umrah Rasulullah?
Ada pula pelajaran penting dari lokasi Ji‘ranah itu sendiri. Di sana terdapat fitnah lama yang dihembuskan sebagian orientalis dan musuh Islam bahwa “Masjid Al-Aqsha” yang disebut dalam Al-Qur’an berada di Ji‘ranah, bukan di Baitul Maqdis. Maka setiap jamaah Umrah yang menapak di Ji‘ranah sejatinya sedang menegaskan kembali bahwa poros spiritual Islam tetap berujung pada tiga masjid suci: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha di Baitul Maqdis.
Sampailah kita pada Umrah keempat, Umrah Wada‘, tahun ke-10 Hijriah. Umrah terakhir beliau. Umrah perpisahan. Dan sebagaimana selalu, sebelum perpisahan, Rasulullah ﷺ mempersiapkan generasi penerusnya. Tahun sebelumnya, beliau memimpin perang Tabuk —perang terakhir bersama para sahabat, perang yang membuka gerbang menuju pembebasan Baitul Maqdis. Sepulang dari Tabuk, beliau membina aliansi dengan kabilah-kabilah di jalur Syam, lalu menyiapkan pasukan Usamah bin Zaid sebagai langkah awal misi besar itu. Ketika beliau bersabda bahwa salah satu tanda Kiamat adalah “pembebasan Baitul Maqdis,” sesungguhnya beliau sedang menanamkan wasiat perjuangan yang belum selesai. Maka refleksi bagi yang akan berangkat Umrah: apa yang akan kita wariskan setelah kembali nanti? Sudahkah kita siapkan “pasukan Usamah” dalam keluarga dan generasi kita? Karena boleh jadi perjalanan Umrah kita kali ini adalah yang terakhir kalinya.
Dari semua perjalanan itu, tampak jelas bahwa seluruh Umrah Rasulullah ﷺ terjadi pada bulan Dzulqa‘dah. Sebuah isyarat: Umrah adalah rihlah ruhiyah di penghujung tahun, perjalanan muhasabah setelah rentetan perjuangan duniawi. Seperti beliau, yang selalu memulai dari Madinah —pusat ilmu dan amal— menuju Makkah —pusat ibadah dan penyucian— lalu mengarahkan pandangan ke Baitul Maqdis —pusat peradaban dan perjuangan. Itulah orbit spiritual Rasulullah ﷺ. Dari Nabawi menuju Ka’bah untuk memperkuat ruh, lalu dari Ka’bah menuju Aqsha untuk melanjutkan misi dakwah.
Sebelum hijrah, Beliau ﷺ shalat menggabungkan dua kiblat —Aqsha dan Ka‘bah—dalam satu arah sujud. Setelah hijrah, kiblat shalatnya berpindah ke Ka‘bah, namun kiblat perjuangannya menuju Aqsha. Begitulah keseimbangan antara ibadah dan jihad yang menjadi ruh perjalanan Beliau ﷺ. Maka bagi yang berangkat Umrah hari ini, maknailah perjalanan itu bukan sekadar menunaikan sunnah, tapi menapaki jejak risalah: dari penyucian hati menuju penguatan misi. Dari Ka’bah, energi itu akan memancar ke rumah, ke masyarakat, dan akhirnya menuju ke arah pembebasan Baitul Maqdis —koordinat perjuangan yang diprioritaskan oleh Rasulullah ﷺ.



Komentar