Baitul Maqdis, Settler-Colonialism, dan Logika Penindasan yang Terulang
- institutalaqsa2016
- 5 Okt
- 3 menit membaca

Oleh: Leonyta Nugroho
Ketidakadilan sebagai Struktur, Bukan Insiden
Ketidakadilan tidak pernah berdiri sendiri. Ia bukan sekadar peristiwa tunggal, melainkan bagian dari struktur yang terus terulang. Di Baitul Maqdis, ketidakadilan itu menjelma dalam bentuk yang paling kejam, yaitu genosida sistematis yang dijalankan “Israel” terhadap bangsa Palestina melalui blokade, kelaparan, penghancuran rumah, dan pembunuhan massal. Ini jelas upaya untuk melenyapkan sebuah bangsa dari peta sejarah.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah (1377) menjelaskan bahwa kekuasaan berdiri di atas ‘asabiyah, yaitu solidaritas sosial yang menyatukan manusia. Namun, ketika kekuasaan berubah menjadi alat penindasan, ia sedang menuju kehancuran. Genosida “Israel” memperlihatkan kemerosotan moral yang ekstrem karena kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga berusaha meniadakan eksistensi sebuah bangsa.
Bagi rakyat Baitul Maqdis, yang mereka hadapi bukan sekadar siklus ketidakadilan yang terulang, melainkan perjuangan eksistensial untuk tetap hidup sebagai bangsa yang merdeka.
Kolonialisme dan Normalisasi Kekerasan
Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth (1961) mengingatkan bahwa kolonialisme tidak hanya menaklukkan secara militer, tetapi juga menormalisasi kekerasan sehingga generasi tertindas kehilangan daya untuk melawan. Kolonialisme berusaha menanamkan ilusi bahwa ketidakadilan adalah sesuatu yang wajar dan tak terelakkan.
Patrick Wolfe dalam artikelnya Settler Colonialism and the Elimination of the Native (2006) menegaskan bahwa kolonialisme adalah sebuah struktur dan bukan sekadar insiden sejarah. Dengan kata lain, penindasan tidak berhenti pada satu peristiwa, tetapi beroperasi secara sistematis dan terus terulang.
Dalam kerangka inilah simbol-simbol perlawanan menemukan maknanya. Keffiyeh, misalnya, bukan hanya sekadar kain, melainkan juga penanda kolektif yang meruntuhkan normalisasi penindasan sekaligus membangun solidaritas lintas batas. Ia menjadi simbol bahwa bangsa yang diblokade, diusir, dan dibunuh tetap menolak tunduk karena yang tertindas tidak pernah benar-benar bisa dipatahkan.
Perspektif Islam: Netralitas Bukan Pilihan
Islam sendiri tidak tinggal diam terhadap struktur penindasan. Al-Qur’an memberikan peringatan keras:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud: 113)
Menurut Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar (mudarris tafsir Universitas Islam Madinah), larangan “cenderung kepada orang-orang zalim” berarti larangan untuk merasa rela terhadap perbuatan zalim, membaik-baikkan, atau bahkan menghiasi jalan kezaliman itu bagi orang lain. Termasuk pula larangan untuk ikut serta dalam tindakan zalim tersebut.
Ayat ini juga menegaskan konsekuensi yang sangat berat, yaitu siapa saja yang cenderung kepada orang-orang zalim akan disentuh api neraka, tanpa ada penolong sedikit pun selain Allah. Bahkan, orang-orang zalim yang sebelumnya dicenderungi tidak akan mampu juga memberi pertolongan. Inilah bentuk ketegasan Al-Qur’an bahwa netralitas di hadapan kezaliman bukanlah pilihan karena sikap itu pada hakikatnya adalah keberpihakan.
Baitul Maqdis sebagai Simbol Perlawanan Global
Perjuangan membebaskan Baitul Maqdis bukan hanya berkaitan dengan tanah suci, melainkan juga simbol perlawanan terhadap sistem penindasan global. Ketika rakyat Palestina melawan penjajahan, mereka sekaligus menyingkap wajah kolonialisme modern yang masih ada dalam berbagai bentuk, mulai dari perampasan sumber daya di Afrika, diskriminasi rasial di Barat, hingga ketimpangan sosial-ekonomi di Asia.
Dengan demikian, perjuangan Baitul Maqdis tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari perjuangan umat manusia melawan struktur penindasan yang sistemik. Sebagaimana penindasan ini bekerja lintas batas, perlawanan pun harus dibangun lintas batas.
Baitul Maqdis memang diblokade, dilaparkan, dan ditekan untuk menyerah, tetapi keteguhan mereka justru menjadi bukti bahwa kekuasaan yang menindas tidak pernah mampu mematahkan perlawanan. Dalam wajah Baitul Maqdis, kita melihat cermin sejarah perlawanan umat manusia, yaitu yang tertindas tidak pernah benar-benar bisa dipatahkan.



Komentar