Baitul Maqdis dan Sistematika Wahyu
- institutalaqsa2016
- 14 Sep
- 3 menit membaca

Oleh: Atina Ummu ‘Ali
Para Sahabat Nabi memahami bahwa Baitul Maqdis adalah tanah yang diberkahi dan tanah harapan.
Baitul Maqdis bukan sekadar Tanah Suci, tetapi juga memiliki peran utama dalam perjalanan turunnya wahyu. Sejak dahulu, Baitul Maqdis menjadi saksi turunnya wahyu dan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Ardhul Anbiya' (Tanah para Nabi).
Nabi Adam 'Alayhissalam diperintah oleh Allah ﷻ meletakkan pondasi Masjidil Aqsha setelah 40 tahun sebelumnya meletakkan pondasi Ka'bah (Shahih Bukhari 3425, Muslim 520). Al-Azraqi dalam Tarikh Akbar Makkah menyebutkan bahwa lokasi Nabi Adam membangun kedua masjid adalah lokasi yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tempat dua rumah ibadah pertama di atas muka bumi. Pondasi keduanya kemudian ditinggikan di masa Nabi Ibrahim 'Alayhissalam bersama kedua anaknya: Ismail dan Ishaq.
Nabi Sulaiman 'Alayhissalam membangun kembali Masjidil Aqsha. Dengan hikmah dari Allah ﷻ, Nabi Sulaiman memimpin dengan adil di Baitul Maqdis setelah masa kepemimpinan ayahnya, Nabi Daud AS.
Nabi Ibrahim 'Alayhissalam menerima wahyu setelah berhijrah dari Babilonia lalu bermukim dan berdakwah di Baitul Maqdis. Nabi Musa 'Alayhissalam menerima wahyu di sekitar gunung Thursina Sinai, lalu diperintahkan untuk membawa Bani Israil dari suatu titik di Ardhul Mubarakah menuju Tanah Suci al-Muqaddasah atau Baitul Maqdis.
Nabi Daud 'Alayhissalam menerima kitab Zabur dan menjadikan Baitul Maqdis sebagai pusat pemerintahannya. Sedangkan Nabi ‘Isa 'Alayhissalam menerima wahyu Injil di Baitul Maqdis, kemudian berdakwah di wilayah ini.
Di masa awal Islam, Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis.
Hingga 16 sampai 17 bulan setelah hijrah ke Madinah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari,
akhirnya kiblat diubah ke Ka’bah.
Lima Wahyu Pertama
Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah adalah Surat al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat ini melahirkan kesadaran dan membangun pondasi Tauhid bagi orang-orang yang beriman. Meski belum turun perintah shalat lima waktu, Rasulullah ﷺ telah diajari tatacara wudhu dan shalat oleh Malaikat Jibril dengan berkiblat ke Masjidil Aqsha.
Wahyu kemudian turun secara bertahap selama 13 tahun di Makkah. Tema utamanya adalah penanaman Tauhid, keimanan kepada hari akhir, serta kisah-kisah para nabi yang banyak terjadi di wilayah Syam dan Baitul Maqdis.
Wahyu kedua adalah Surat al-Qalam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Pendapat serupa disebutkan oleh Syaikh Manna’ al-Qatthan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.
Surat al-Qalam berisi perintah Allah ﷻ agar tetap teguh dalam dakwah Tauhid. Allah ﷻ membela Rasulullah ﷺ dari tuduhan orang-orang kafir yang memfitnahnya sebagai orang gila, tukang sihir, dan pendusta.
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan bahwa rentang waktu antara turunnya wahyu pertama dan kedua adalah 2,5 tahun.
Wahyu selanjutnya adalah Surat al-Muzzammil, berisi perintah untuk shalat malam guna memperkuat ruhiyah dan kesabaran dalam dakwah. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Allah ﷻ memerintahkan Nabi ﷺ untuk shalat malam sebagai bentuk persiapan ruhiyah sebelum menghadapi tantangan dakwah. Adapun al-Qurthubi menyebutkan bahwa shalat malam adalah sumber kekuatan ruhani bagi Nabi ﷺ karena wahyu yang akan datang membutuhkan kesabaran dan keteguhan.
Surat al-Muzzammil menegaskan bahwa shalat malam lebih kuat dalam memperkuat hati dan keimanan, karena suasana malam yang tenang. Demikian dijelaskan oleh as-Sa’di dalam tafsirnya. Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebut bahwa malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan wudhu, lalu mengajarkan shalat dua rakaat.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebut bahwa shalat yang pertama kali diajarkan adalah shalat dua rakaat di pagi dan sore hari, hingga kemudian turun perintah qiyamul lail sebagaimana disebutkan dalam Surat al-Muzzammil ayat 20.
Selanjutnya adalah Surat al-Muddatsir yang berisi seruan untuk berdakwah secara terbuka.
Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan bahwa setelah al-‘Alaq (1-5), wahyu berikutnya adalah al-Muzzammil, lalu al-Muddatsir.
Sebagian ahli tafsir dan ulama sirah menyatakan bahwa sebelum Nabi diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka (al-Muddatsir), beliau terlebih dahulu diperintahkan untuk memperkuat ruhiyah dengan shalat malam (al-Muzzammil). Sebagian ulama Hadits juga menafsirkan bahwa ayat pertama dari al-Muzzammil merupakan perintah awal sebelum dakwah dimulai.
Wahyu berikutnya adalah Surat al-Fatihah. Isinya doa yang meneguhkan Tauhid, memohon hidayah menuju jalan yang lurus, dan prinsip-prinsip dasar membangun peradaban sebagai seorang pemimpin dan seorang Muslim. Surat al-Fatihah menjadi pedoman yang membentuk peradaban Islam yang adil, beradab, dan berorientasi pada kebaikan dunia dan akhirat.
Dalam periode ini, Rasulullah ﷺ sering bermajelis dengan para Sahabat untuk membacakan berbagai keutamaan Baitul Maqdis. Para Sahabat akhirnya memahami bahwa Baitul Maqdis adalah tanah yang diberkahi dan tanah harapan.
Sementara Makkah menjadi tempat penanaman keimanan, sebelum kelak mereka mendapatkan kesempatan untuk menuju ke sana, memerdekakannya, dan menyebarkan risalah Tauhid.
Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Suara Hidayatullah
Edisi Dzulqa’dah, Mei 2025



Komentar