Kemerdekaan yang Diimpikan
- institutalaqsa2016
- 17 Agu
- 4 menit membaca

Oleh: Faris Irfanuddin
Selama lebih kurang 500 tahun, orang-orang Yahudi dan agama Yahudi dilarang di Baitul Maqdis. Siapa pun yang menentang peraturan ini diancam dibunuh. Peraturan ini juga berlaku bagi orang-orang Nasrani yang menaruh simpati kepada Yahudi. Akibatnya, populasi Yahudi di Baitul Maqdis turun drastis dari yang sebelumnya mencapai 2/3 menurun hingga 1/3, dan terus menunjukkan tren penurunan.
Di sisi lain, pada tahun 614 M, sekitar 24 tahun sebelum Baitul Maqdis dimerdekakan oleh kaum Muslimin, Persia yang saat itu dipimpin oleh Chosroes bekerja sama dengan kaum tertindas di Baitul Maqdis—termasuk orang-orang Yahudi—membantai 33.877 orang Nasrani di Baitul Maqdis. Persekusi yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Yahudi, serta pembantaian puluhan ribu orang-orang Nasrani hasil kerja sama Persia dengan orang-orang Yahudi di Baitul Maqdis adalah bentuk penistaan terhadap keberkahan Baitul Maqdis.
Al-Qur’an memuliakan Baitul Maqdis dengan menyebutnya sebagai tempat yang diberkahi bagi seluruh alam semesta, semua tanpa terkecuali. Oleh karena itu, visi kemerdekaan Baitul Maqdis yang ditawarkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah untuk mengembalikan fungsi Baitul Maqdis sebagai tempat yang diberkahi bagi semua.
Impian kemerdekaan itu purna terwujud ketika ‘Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu memberikan jaminan keamanan bagi seluruh penduduk Baitul Maqdis tanpa terkecuali. Tidak ada lagi persekusi bagi Yahudi, justru mereka dibolehkan kembali setelah ratusan tahun dilarang. Tidak ada lagi pembantaian bagi orang-orang Nasrani. Semua diberikan hak yang setara. Baitul Maqdis kembali pada fitrahnya menjadi tempat berkah bagi semua selama 400 tahun lebih sebelum dirusak kembali oleh penjajah Frank.
Prinsip memosisikan Baitul Maqdis sebagai tempat bagi semua disadari tidak hanya oleh ‘Umar bin Al-Khattab saja, yang hanya menetap beberapa hari dan kemudian kembali ke Madinah, tetapi dipahami dan disadari oleh kaum Muslimin yang lain. Oleh karena itu, tidak ada perubahan drastis jumlah kaum Muslimin yang pindah ke Baitul Maqdis, justru selama ratusan tahun itu jumlah kaum Muslimin menjadi yang paling sedikit jika dibandingkan dengan yang lain. Adanya peningkatan jumlah bukan karena ditambah, tetapi karena tumbuh sehingga bertambah.
Interaksi antarperadaban di Baitul Maqdis yang dibangun di atas jaminan keamanan ‘Umar terus berkembang hingga berubah menjadi corak peradaban yang khas dan tidak ditemukan di tempat lain. Imam Ibnul ‘Arabi merekam interaksi-interaksi itu dalam catatan perjalanannya ke Baitul Maqdis tahun 1093, enam tahun sebelum penjajah Frank datang.
Dalam catatannya itu, Ibnul ‘Arabi menceritakan betapa kontrasnya kehidupan di dalam dan di luar dinding kota. Ketika terjadi pemberontakan di luar benteng yang mengakibatkan terjadinya aktivitas militer, warga dalam kota terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Pasar tetap buka. Madrasah tetap berjalan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di kampung halamannya.
Dalam kisah lainnya, Ibnul ‘Arabi melihat debat terbuka di halaman Masjidil Aqsha antara ilmuwan Muslim melawan ilmuwan Yahudi. Debat berlangsung sengit, dan ilmuwan Muslim keluar sebagai pemenang debat. Yang membuat takjub Ibnul ‘Arabi, perdebatan itu tidak melebar ke mana-mana, dan segera kembali normal seperti biasa. Pemandangan itu membuat Ibnul ‘Arabi memutuskan untuk bertahan selama tiga tahun di Baitul Maqdis.
Peradaban damai yang dibangun di atas keamanan dan keadilan itu pun buyar ketika pasukan Frank pada bulan Juli 1099 masuk ke Baitul Maqdis dan membantai sekitar 70.000 orang di halaman Masjidil Aqsha. Pembantaian tahun 614 M terulang kembali 485 tahun berselang. Sebelumnya, orang-orang Nasrani menjadi korban, tetapi kemudian mereka menjadi pelaku. Sementara itu, kaum Muslimin yang dahulu datang sebagai penengah, pihak yang tidak ada dalam lingkaran persekusi ataupun pembantaian, kemudian menjadi korban pembantaian kaum Nasrani.
Tugas dan tanggung jawab memerdekakan Baitul Maqdis bagi generasi berikutnya menjadi berlapis, antara mengembalikan Baitul Maqdis pada fitrahnya sebagai tempat berkah bagi semua, dan pada saat yang sama menahan diri untuk tidak mengulang kesalahan sejarah dengan melakukan balas dendam.
Impian kemerdekaan itu ditunaikan dengan baik oleh generasi yang dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Baitul Maqdis dimerdekakan secara damai tanpa pembantaian. Lantas disempurnakan dengan kebijakannya membangun kembali gereja dan membolehkan orang-orang Yahudi untuk tinggal di dalam kota Baitul Maqdis. Delapan puluh delapan tahun waktu yang dibutuhkan kaum Muslimin untuk mengembalikan Baitul Maqdis pada fitrahnya.
Kali ini usia peradabannya lebih panjang, terlepas dari dinamika yang terjadi, dapat bertahan sekitar 730 tahun sebelum dirusak kembali oleh penjajah Inggris pada tahun 1917 dan Zionis pada tahun 1948. Kali ini kaum Muslimin menjadi korban dari dua aib sejarah peradaban di Baitul Maqdis yang seharusnya tidak perlu diulang; dibantai dan dipersekusi. Terulangnya kesalahan sejarah itu membawa peradaban di Baitul Maqdis mundur ribuan tahun ke belakang. Persekusi dan pembantaian kembali menodai kehormatan Baitul Maqdis.
Layaknya sebuah siklus, hadirnya kemerdekaan Baitul Maqdis yang dipimpin perjuangannya oleh kaum Muslimin adalah sebuah keniscayaan. Ibarat sebuah siklus yang berulang, selalu ada kesamaan dan perbedaan di setiap prosesnya. Kesamaan yang pasti, impian kemerdekaan yang akan dihadirkan adalah mengembalikan Baitul Maqdis pada fitrahnya, menjadi tempat yang diberkahi bagi semua. Keberkahan yang mewujud dalam bentuk keadilan dan perdamaian bagi siapa pun yang berada di atasnya.
Impian kemerdekaan pertama mewujud dalam bentuk Al-‘Uhdah Al-‘Umariyyah (Jaminan Keamanan ‘Umar) sebagai solusi permasalahan persekusi atas orang-orang Yahudi yang berlangsung ratusan tahun lamanya oleh penguasa Nasrani, sekaligus menjadi solusi bagi luka pembantaian puluhan ribu orang Nasrani yang diakibatkan persekongkolan orang-orang Yahudi. Semua terselesaikan dan dikembalikan haknya.
Impian kemerdekaan kedua hadir dalam wujud kelapangan hati Shalahuddin mempersilakan penjajah yang dahulu membantai puluhan ribu kaum Muslimin untuk bertahan di Baitul Maqdis atau dikawal sampai tiba di tempat suakanya.
Impian kemerdekaan hari ini tentu ada, tetapi masih menjadi misteri akan seperti apa wujudnya. Namun, yang pasti, impian itu selamanya tidak akan mewujud menjadi nyata jika tidak diupayakan dan diperjuangkan. Hari ini usia penjajahan Baitul Maqdis memasuki tahun ke-108 sejak dijajah Inggris (1917), dan masuk tahun ke-77 sejak dijajah Zionis (1948), dan pada saat yang sama bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-80.
Merayakan artinya mengingat keberhasilan mewujudkan impian kemerdekaan pada masa lalu. Ingatan itu seharusnya mengantarkan pada kesadaran bahwa bangsa ini berpengalaman dalam mengusir penjajah dari tanah airnya, dan bagi kaum Muslimin kesadaran itu berpadu dengan kesungguhan niat mewujudkan impian kemerdekaan tanah sucinya.



Komentar