Antara Perang Ahzab & Taufan Al-Aqsha: Sejarah yang Berulang
- institutalaqsa2016
- 30 Mei
- 3 menit membaca

Oleh: Atina Ummu 'Ali
Pertempuran antara Al-Haq dan Al-Bathil
Sejarah manusia telah menyaksikan perjuangan antara Al-Haq melawan Al-Bathil. Perjuangan ini tidak akan berakhir hingga Allah mewariskan bumi ini kepada siapa yang Dia kehendaki. Dalam lembaran sejarah Islam, Perang Ahzab (627 M/5 H) menjadi salah satu peristiwa penting yang menggambarkan cara umat Islam menghadapi ancaman besar dengan strategi yang cermat dan keyakinan penuh pada pertolongan Allah.
Sebelum Perang Ahzab, Rasulullah ﷺ telah berhadapan dengan kaum musyrikin dalam Perang Badar (624 M/2 H) dengan 313 pasukan Muslim menghadapi 1.000 pasukan Quraisy, serta Perang Uhud (625 M/3 H) dengan 700 pasukan Muslim melawan 3.000 pasukan Quraisy. Selain itu, beliau juga menghadapi kaum Yahudi dalam Perang Bani Qainuqa' (624 M/2 H), dan Perang Bani Nadhir (625 M/4 H). Namun, ancaman terbesar datang dalam Perang Ahzab, ketika sekitar 10.000 pasukan dari berbagai suku Arab dan Yahudi bersekutu untuk menghancurkan Islam di Madinah, yang saat itu hanya memiliki sekitar 3.000 pasukan Muslim.
Konspirasi yang Mengancam Madinah
Pada tahun 627 M/5 H, beberapa pemimpin Bani Nadhir yang telah diusir ke Khaibar menyusun rencana licik untuk menghasut musuh-musuh Islam agar bersatu dalam satu misi untuk mengepung dan menghancurkan Madinah. Seruan ini menarik perhatian banyak pihak:
1. Kaum musyrikin Quraisy, dipimpin oleh Abu Sufyan, membawa 4.000 pasukan.
2. Suku Ghathafan, dengan 6.000 pasukan bayaran yang dijanjikan setengah hasil panen Khaibar.
3. Beberapa Yahudi dan kaum munafik dari Madinah dan sekitarnya, ikut memperkuat koalisi.
Total kekuatan tentara Ahzab mencapai 10.000 pasukan, jauh lebih besar dibandingkan pasukan Muslim di Madinah.
Mengetahui ancaman ini, Rasulullah ﷺ segera mengambil langkah strategis dengan berkonsultasi dengan para sahabat dan menerapkan berbagai upaya taktis. Salah satu strategi utama adalah penggalian parit di bagian utara Madinah, yang menjadi penghalang besar bagi pasukan musuh.
Sejarah yang Berulang
Dari Perang Ahzab ke Taufan Al-Aqsha
Hari ini, dunia menyaksikan peristiwa yang sangat mirip dengan Perang Ahzab dalam bentuk perlawanan rakyat Gaza terhadap agresi Zionis. Sebelum Operasi Taufan Al-Aqsha (7 Oktober 2023), kaum Muslimin telah berhadapan dengan penjajah dalam empat pertempuran besar, yaitu: Perang Al-Furqan (2008), Perang Hijarah As-Sijjil (2012), Perang Al-‘Ashf Al-Ma’kul (2014), dan Perang Saif Al-Quds (2021).
Kemudian, pada tahun 2023, meletuslah Taufan Al-Aqsha, yang menjadi serangan terbesar terhadap penjajah Zionis dalam sejarah modern.
Keberhasilan serangan ini mengejutkan penjajah sehingga memicu bangkitnya kembali koalisi musuh, pasukan Ahzab modern, yang kini tidak hanya terdiri dari Zionis, tetapi juga pasukan Salibis yang secara terbuka mendukung penjajah dengan persenjataan, intelijen, dan teknologi canggih.
Kemenangan yang Dijanjikan
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika kaum Muslimin berpegang teguh kepada Allah dan mengambil strategi yang tepat, kemenangan adalah keniscayaan. Rasulullah ﷺ bersabda setelah Perang Ahzab:
«ٱلْيَوْمَ نَغْزُوهُمْ وَلَا يَغْزُونَنَا»
"Hari ini, kita yang akan menyerang mereka, bukan mereka yang menyerang kita!" Shahih al-Bukhari (3021) & Muslim (1779).
Tiga tahun setelah Perang Ahzab, Makkah dibebaskan pada tahun 630 M/8 H. Jadi, kapan Baitul Maqdis akan dibebaskan?
Kini, rakyat Gaza telah melakukan segala yang mereka mampu dengan terus berjuang dan bertahan. Namun, kemenangan sejati tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik dan strategi militer, melainkan juga pada pertolongan Allah yang dijanjikan bagi orang-orang yang sabar dan istiqamah. Allah berfirman:
"Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu selain Dia." (QS Al-Muddatsir [74]: 31)
Mungkin kemenangan itu lebih dekat dari yang kita bayangkan, in syaa Allah.
Ya Allah, berikan kepada kami, anak-anak kami, dan orang-orang yang kami cintai, kehormatan untuk berpartisipasi dalam perjuangan pembebasan besar ini.
*Diterjemahkan dan dinarasikan ulang dari tulisan Dr. Sa’id Bakr, anggota komite Hai'ah Ulama Palestina.
Comments